Langsung ke konten utama

Pemanfaatan Isotop 18O dan 2H Dalam Pendugaan Kebocoran Bendungan

 Pendahuluan

Air merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia. Keberadaannya di bumi sangat menunjang kehidupan karena sebagian besar makhluk hidup tersusun atas air. Oleh karena itu pada daerah tertentu terdapat bangunan yang dikhususkan untuk menampung air dengan volume besar. Bangunan tersebut dapat berupa bendungan atau waduk. Bendungan atau waduk tersebut umunya berperan penting dalam sektor irigasi, pembangkit listrik, pengendalian banjir, hingga penyediaan air minum. Dengan demikian keamanan sistem penampungan air pada bendungan atau waduk penting untuk diperhatikan.

Kebocoran pada bendungan dapat saja terjadi. Umumnya kebocoran bendungan ditandai dengan ditemukannya air rembesan di sekitar bendungan hingga ditemukan bocoran air dari dinding bendungan. Air pada bendungan umumnya berasal dari air hujan yang mengalir pada sungai dan berakhir di bendungan untuk ditampung yang kemudian mengalami evaporasi (penguapan). Mengingat pentingnya peranan bendungan, maka masalah kebocoran bendungan harus diteliti lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara air bendungan dengan rembesan disekitarnya. Pendugaan kebocoran bendungan dapat dilakukan dengan pendekatan isotop 18O dan 2H. Isotop 18O dan 2H merupakan isotop pembentuk molekul air, oleh karena itu pendekatan ini sangat mungkin untuk dilakukan.

Pembahasan

Air (H2O) adalah senyawa yang tersusun atas atom oksigen dan hidrogen yang saling berikatan. Oksigen (O) dan hidrogen (H) merupakan isotop yang stabil dan keberadaannya sangat melimpah di bumi. Isotop tersebut merupakan pembentuk molekul air, yaitu Isotop 18O dan 2H  yang ditemukan bersamaan dengan Isotop 16O dan 1H. Sifat dari isotop tersebut adalah konservatif dimana kelimpahannya tidak dapat berkurang, namun justru mengalami peningkatan seiring dengan perpindahan air yang mengandungnya (Vitvar dkk, 2005). Jung dkk (2020) menyatakan bahwa penambahan isotop pada air permukaan terjadi secara alami melalui air hujan yang turun lalu mengalir dan terkumpul pada daerah aliran sungai dan berakhir pada bendungan. Perubahan konsentrasi isotop dipengaruhi oleh proses percampuran dan fraksinasi yang terjadi selama evaporasi dan kondensasi. Proses fraksinasi dan percampuran tersebut mempengaruhi rasio isotop 18O/16O dan 2H/1H karena terjadinya perubahan fisik akibat perbedaan masa isotop (Perasetio, 2015). Pada penelitian Hoefs (1997) dalam Jung dkk (2020), dihasilkan model konseptual dari siklus air dengan perbedaan konsentrasi isotop pada masing-masing sifat fisik air yang ditampilkan pada gambar berikut ini.

Gambar 1.  Model perubahan komposisi isotop 18O (δ18O) dan 2H (δ2D) pada masing-masing kondisi dimana kandungan isotop lebih banyak pada media dengan kondisi kental, misalnya lebih banyak terkandung pada media cair daripada uap dan media padat daripada cair (Hoefs (1997); Coplen dkk (2000) dalam Jung dkk (2020)

Melalui Gambar 1, diketahui bahwa pada masing-masing fase air memiliki kandungan isotop 18O dan 2H yang berbeda-beda (Hoefs (1997) dalam Jung dkk (2020)). Selain itu, ketinggian tempat (elevasi) juga berpengaruh terhadap rasio isotop, semakin tinggi suatu daerah maka kandungan isotop akan semakin sedikit (Mook, 2000 dalam Prasetio dan Satrio, 2015). Dengan demikian, isotop tersebut dapat digunakan untuk mengetahui dinamika air, meliputi sumber air dan proses pencampuran yang terjadi (Prasetio dan Satrio, 2015). Terlebih lagi pada air tanah dan air hujan umumnya memiliki hubungan yang cukup kompleks, sehingga pendekatan isotop 18O dan 2H dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola percampuran dan tingkat kontribusi dari masing-masing jenis air melalui pemisahan hidrograf (Lee Dkk, 2016 dalam Jung dkk, 2020).

Langkah awal pemanfaatan isotop 18O dan 2H dalam mengetahui pendugaan kebocoran bendungan adalah dengan menghitung konsentrasi isotop pada masing-masing sampel air. Sampel yang digunakan meliputi sampel air bendungan dan air pada mata air disekitar bendungan yang diduga berasal dari air bendungan yang bocor. Selanjutnya, masing-masing sampel air dianalisis dengan menggunakan alat spektrometer massa untuk mengetahui kelimpahan relatif deuterium (2H) dan 18O (Dansgaard, 1964). Dansgaard (1964) menyatakan bahwa rerata keterdapatan isotop pembentuk air (H2O16, HDO16, dan H2O16) kurang lebih 997680 : 320 : 2000 ppm (parts per millatom). Perhitungan masing-masing isotop selanjutnya menggunakan persamaan berikut.

δ = (αsampel- αstandard)/αstandard x 103 ‰

Persamaan tersebut telah mengacu pada standar SMOW (Standard Mean Ocean Water), dimana secara definitif nilai δ18O dan δ2H bernilai 0 ‰. Persamaan isotop pada air meteorik ditemukan oleh Craig (1964) dalam Jung dkk (2020) yaitu sebagai berikut.

δ2H = 8 δ18O + 10

Persamaan tersebut mengacu pada MWL (Meteoric Water Line), umumnya digunakan untuk mengetahui dan menelusuri sumber air meteorik. Khususnya, MWL yang berpotongan dengan 10 dan 8 (nilai slope) ditetapkan sebagai GMWL (Global Meteoric Water Line) atau garis air meteorik global. Angka 10 pada persamaan tersebut bergantung pada posisi geografis yang mencakup daerah penelitian sedangkan slope bergantung pada suhu, penguapan, dan kecepatan angin (Sadiuruk dkk, 2001). Di Indonesia sendiri Bafi (1984) dalam Sadiuruk (2001) melakukan penelitian di beberapa stasiun penadah hujan di beberapa tempat di Indonesia dan diperoleh persamaan sebagai berikut.

δD = 8 δ18O + 14

δD sama dengan δ2H yang disebut sebagai kelimpahan relatif deuterium. Salah satu pemanfaatan isotop 18O dan 2H di Indonesia adalah pendugaan kebocoran Bendungan Jatiluhur oleh Sadiuruk dkk (2001). Sadiuruk dkk menggunakan 2 pendekatan yaitu perhitungan isotop dan hidrokimia. Kedua pendekatan tersebut dikombinasikan untuk mengetahui korelasi dan tipe percampuran antara air Bendungan Jatiluhur dengan mata air di sekitarnya. Kondisi suhu rata-rata daerah penelitian 300 dengan kelembaban relatif sebesar 50% sehingga menghasilkan garis penguapan berikut ini δD = 4,54 δ18O + 10,17. Hubungan antara garis penguapan dan garis meteorik lokal ditampilkan pada gambar dibawah ini.


Gambar 2. Hubungan garis meteorik lokal, garis penguapan, dan zona percampuran (Sadiuruk dkk, 2001)

Hasil pengeplotan data kelimpahan relatif kedua isotop pada diagram persamaan yang ditampilkan pada Gambar 3. Stasiun titik amat yang berada di atas garis meteorik lokal menandakan bahwa air tersebut murni air hujan. Apabila berada dibawah garis penguapan maka sampel merupakan air Bendungan Jatiluhur. Untuk stasiun titik amat yang berada diantara garis meteorik lokal dan garis penguapan, maka air tersebut merupakan percampuran antara air hujan dengan air bendungan. Pada JT-01, terlihat bahwa hasil pengeplotan kelimpahan relatif δD dan δ18O menunjukkan kenampakan dibawah garis penguapan sehingga dapat diketahui bahwa air pada JT-01 merupakan bocoran dari air bendungan.


Gambar 3. Hasil plotting data pada diagram persamaan

Kesimpulan
Air merupakan senyawa yang tersusun atas oksigen dan hidrogen yang saling berikatan. Dalam pendugaan kebocoran bendungan dapat dilakukan dengan menggunakan isotop 18O dan 2H karena sifatnya yang melimpah dan konservatif. Parameter yang perlu diperhatikan dalam pendekatan ini meliputi suhu, penguapan, dan kecepatan angin. Langkah dalam pendugaannya adalah dengan melihat persebaran kelimpahan relatif isotop dari air bendungan dan mata air disekitar bendungan, untuk kemudian diplot pada  diagram persamaan garis meteorik lokal dan garis penguapan.  



Daftar Referensi
Dansgaard, W., 1964, Stable Isotopes in Precipitatatom, Tellus, 16:4, 436-468,
DOI: 10.3402/tellusa.v16i4.8993
Jung, H., Koh, D. C., Kim, Y.S., Jeen, S.W., dan Lee. J., 2020, Stable Isotopes of Water and Nitrate for the Identificatatom of Groundwater Flowpaths: A Review doi:10.3390/w12010138
Prasetio, R. dan Satrio, 2015, Aplikasi Teknik Isotop Alam dalam 18O dan 2H untuk Studi Air Tanah pada Cekungan Airtanah Semarang, Jawa Tengah: Proceeding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir 2015 Pusat Sains dan Teknologi Akselerator - BATAN
Sadiuruk, P., Indrojono, Djatomo, Ristin, E. R., Satrio, dan Alip, 2001, Penyelidikan Tingkat Kebocoran Bendungan Jatiluhur dengan Pendekatan Isotop Alam dan Hidro-Kimia, Jakarta: Jurnal Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. P25-P31 
Vitvar, T. Dan Aggarwal, P.K., 2005, A Review of Isotope Applicatatoms in Catchment Hydrology: Netherland, J.J. McDONNELL


Komentar