Baru-baru ini saya membaca (lagi) salah satu buku Pak Gobind Vashdev. Berjudul "Pria dan Wanita, Berbedakah?" Saya membaca tulisan beliau dalam sebuah e-lite, yang bisa kita temukan di Ipusnas.
Entah kenapa tiap kali saya membaca tulisan Pak Gobind, rasanya adem. Saya tidak biasa membaca bagian pendahuluan, kata pengantar, sekapur sirih, dkk. Ketika membaca sering kali saya langsung loncat ke bagian daftar isi. Tidak tahu kenapa saya bisa sebegitu menikmatinya setiap tulisan beliau, berasa tersihir HAHA.
"Bapak ini benar-benar punya hati dan energi yang besar untuk orang lain"
kala itu saya bergumam, benar-benar definisi dari "hidup untuk kebahagiaan orang lain". Saya juga pengen hehe
Langsung saja ya, ini beberapa ringkasan yang masih nyangkut di pikiran saya. Cuss!
Seperti yang ditulis di banyak artikel dan website. Pria dan wanita memiliki cara berpikir dan pembawaan yang berbeda, seperti Venus dan Mars kalau kata Mbak Demi Lovato & Mas Jonas bersaudara. Sering sekali terjadi kesalah-pahaman diantara keduanya, wanita hanya ingin didengarkan tapi pria malah memberikan solusi yang jelas-jelas tidak diminta oleh wanitanya.
Bisa jadi hal-hal yang dipikir oleh pria itu membingungkan, tapi di pikiran wanita nampak normal. Sempat terpikir juga, bahasa cinta juga bisa berpengaruh sih dalam sebuah hubungan. Kalau dipikir-pikir kembali, padahal keduanya sudah menunjukkan kasih sayangnya (sudah saling memberi), tapi mengapa masih saja terjadi masalah? Ya karena respon yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan. Jadi kuncinya ada pada saling belajar mengenal dan belajar mengatasi tantangan yang muncul.
Saya tersadarkan bahwa baik kelebihan maupun kekurangan kita, bisa menimbulkan dampak. Dalam e-lite ini dituliskan apabila hobby menonton film, yang semula kita anggap kekurangan, dapat membawa kita menjadi kritikus film. Agar dapat berkembang, tidak harus berfokus pada kelebihan yang kita miliki, kelemahan pun dapat dikembangkan apabila ada tekad. Satu kutipan yang saya ingat
"Sukses dapat menghampiri mereka yang optimis, juga menyapa yang pesimis, sukses dapat berlabuh pada seorang yang cekatan dan keras, tetapi sukses juga dapat mendarat pada sahabat yang lambatdan fleksibel."
Alih-alih meratapi nasib, membenci, dan berusaha menghilangkan ketidakmampuan kita, kenapa tidak mencoba untuk menjadikannya sahabat?
Selain itu, banyak hal di dunia ini yang membuat kita kesal. Bahkan hal sepele, misalnya berupa komplain kepada orang lain. Bisa saja kita ingat terus, emosinya kita simpan selama berhari-hari, bertahun-tahun, sampai kita lupa sudah lama sekali kita menyimpannya dalam hati dan pikiran kita.
Sebenarnya penanganannya sederhana, kita butuh menerima. Menerima kalau dunia ini beragam, tidak bisa selalu sesuai dengan standar keinginan kita. Itulah gunanya toleransi. Akan lebih baik apabila kita dapat menerima keberagaman tanpa bergesekan dengan ego kita masing-masing.
Membaca e-lite ini membuat saya teringat tentang khotbah yang dibawakan oleh pembimbing rohani saya di kampus.
"Orang lemah tidak dapat memaafkan, memaafkan hanya atribut dari seorang pemberani"
Memaafkan itu butuh hati yang lapang, tenaga yang besar, dan mental yang kuat. Mengapa? Jelas, seseorang yang secara sadar memaafkan kesalahan seseorang, ketika dia berhadapan dengan orang itu. Dia tidak akan kesal lagi. Memang benar, amarah dan kekesalan kalau disimpan dalam waktu yang lama dapat merugikan diri sendiri. Ya gimana tidak rugi, kitanya kepikiran kesalahan orang, tapi belum tentu orangnya ingat dia punya salah sama kita. Kita sendiri yang rugi kan?
Pak Govind juga menceritakan bagaimana beliau dapat memaknai keindahan dalam bencana gempa bumi Bantul, DIY tahun 2006. Beliau menuliskan bahwa
"Indahnya kehidupan bukan terlihat dari mata yang memandang, telinga yang mendengar atau lidah yang mengecap, tetapi terdapat pada arti yang kita letakkan pada setiap momen kejadian hidup ini."
Dari sebuah bencana, kita dapat melihat bahwa ketika ada orang yang menderita, masih ada orang yang peduli dengan sesamanya. Apabila kita ditimpa suatu masalah yang kita anggap besar, apakah memang masalah itu sangat besar? Padahal kita hanya sebuah titik di antara jutaan galaksi di dunia ini. Apakah masalah kita lebih besar dari dunia ini?
Selain itu, hidup ini hanya titipan. Semua uang, baju, laptop, keluarga, sahabat, kekasih, semuanya titipan. Bukan milik kita, tapi milik Tuhan. Kalau sewaktu-waktu Tuhan ingin mengambilnya, kita bisa apa? Justru rasa syukurlah yang ada, karena kita diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menjaga kepunyaanNya.
Dari tulisan beliau, saya banyak dibukakan tentang makna dari sebuah paksaan. Ketika kita dipaksa untuk melakukan sesuatu yang kita rasa tidak mampu, dan kita diberi tenggat waktu untuk menyelesaikannya, itu bisa jadi hal baik dan berdampak. Tergantung dari mana kita melihatnya.
Komentar
Posting Komentar